Bale bengong - sakapat |
Elemen Pondasi & Substruktur Bale Sakapat
Pondasi bale sakepat adalah jenis pondasi setempat atau yang dikenal dengan istilah pondasi jongkok asu. Empat buah pedestal diletakan di atas tanah sebagai pondasi. Pedestal tersebut biasanya terbuat dari batu atau paras tua dengan bentuk trapesium.Untuk elemen pengaku antar tiang pada bangunan sakapat tidak menggunakan sloof, melainkan menggunakan sunduk. Tinggi bale atau "dudukan" biasanya adalah 70 - 80 cm. Di bawah konstruksi ini terdapat kayu melintang yang menghubungkan tiang, inilah yang disebut dengan sunduk.
Baca juga : Langgam Arsitektur Tradisional Bali
Elemen Kolom dan Balok Bale Sakapat
Sementara untuk pengaku bale sakepat di bagian atas menggunakan semacam balok yang disebut dengan "lambang". Antara "lambang" dengan "saka" dihubungkan dengan "canggahwang" sebagai segitiga pengaku. Untuk bangunan sakapat yang kecil misalnya ukuran 2 x 2 meter biasanya tidak menggunakan canggahwang karena sudah cukup kaku pada sambungan antara saka dan lambang, apalagi akan diperkuat dengan struktur limasan.Tiang yang digunakan umumnya terbuat dari kayu balok dengan ukuran 8 x 8 cm hingga 12 x 12 cm. Tinggi tiang bale sakapat biasanya menggunakan hitungan "sikut" yang berkisar antara 2 hingga 2,5 meter. Dalam bangunan tradisional bali, biasanya menggunakan perhitungan "bah bangun" atau "rebah bangun" dimana proporsi yang dianggap bagus biasanya tinggi bangunan sama dengan jarak antar tiang. Dalam arsitektur modern, ini dikenal dengan rumus d/h atau distance/height.
Baca juga : 9 Posisi Pintu Masuk Rumah sesuai Arsitektur Tradisional Bali
Elemen Atap Bale Sakapat
Bale sakapat biasanya memiliki atap limasan atau pelana dengan "kampiah". Atap bale sakapat biasanya dibuat dengan alang-alang kering yang ditumpuk, ijuk yang dianyam, atap sirap dengan kayu ulin atau menggunakan genteng. Variasi atap berupa "murda" atau mahkota limasan dan "ikut celedu" di bagian ujung bubungan atap.Untuk bale sakapat dengan bentuk persegi biasanya tidak menggunakan kuda-kuda, namun usuk ekspos yang disebut dengan "iga-iga". Usuk ini terikat di lambang dan menyatu di puncak membentuk segitiga limasan yang kaku dan stabil.
Baca juga : Mengenal Arsitektur Bali dan Keunikannya Secara Lengkap
Fungsi Bale Sakapat
Fungsi dari bale sakepat di Bali ada bermacam-macam mulai dari fungsi untuk tempat suci berupa pura atau sanggah dan juga sebagai fungsi propan. Fungsi sakral yaitu untuk mrajan/sanggah orang bali bisa dilihat pada bangunan "piasan" sebagai tempat untuk meletakan sesajen dan tempat duduk orang suci ketika melakukan persembahyangan. Sementara fungsi propan bale sakepat adalah untuk bale bengong atau bale peristirahatan yang sering dibangun di beberapa taman kota di Bali.Bale sakapat juga digunakan untuk konstruksi Jineng Bali atau dalam bahasa Indonesia kita kenal dengan lumbung padi. Jineng Bali biasanya memiliki empat tiang dan atapnya ditutup untuk penyimpanan beras agar aman dari tikus dan hama lainnya.
Baca juga : Pengaruh Gaya Arsitektur Majapahit di Bali
Bangunan Tahan Gempa
Meskipun konstruksinya amat sederhana dan tidak menggunakan paku pada sambungannya, bale sakapat termasuk bangunan yang tahan terhadap gempa. Ini karena semua sambungan pada bale sakapat adalah sambungan tarik yang elastis dan sebenarnya tidak begitu kaku. Struktur bangunan tradisional sakapat bukanlah sambungan mati, ada kelonggaran yang membuat struktur bisa sedikit bergerak saat menghadapi gempa. Namun konstruksi bangunan ini cukup lemah terhadap tiupan angin karena pondasinya yang tidak begitu dalam.Bangunan sakapat modern seperti bale bengong yang kita jumpai di banyak hotel dan villa di bali adalah perpaduan struktur tradisional yang sudah disempurnakan dengan teknologi bangunan modern sehingga lebih kuat dan permanen.
Demikianlah mengenai bangunan bale sakapat, semoga penjelasan ini dapat menambah wawasan sahabat arsitur. Terima kasih.
Referensi :
Dwijendra, N. K. Acwin. 2010. "Arsitektur Rumah Tradisional Bali : Berdasarkan Asta Kosala-Kosali". Denpasar : Bali Media AdhikarsaGlebet, I Nyoman, dkk. 1986. "Arsitektur Tradisional Daerah Bali". Denpasar : Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
**Pengalaman pibadi penulis